Beberapa waktu kemarin kita dihebohkan dengan blackout
(mati lampu) yang terjadi di ibu kota Jakarta dan sekitarnya. Hal ini telah
banyak membuat kelumpuhan ekonomi. Tidak hanya dirasakan industri, perkantoran,
dan pusat perbelanjaan bahkan transportasi juga terkena imbasnya. Lampu lalu
lintas banyak yang mati sehingga jalan kacau. Mati lampu juga berimbas pada
kereta listrik yang tentunya memakai listrik sebagai sumber energinya.
Gambar 1. Evakuasi penumpang MRT
Ketika terjadi mati listrik di jalur kereta api, maka yang
paling utama adalah keselamatan penumpang. Jakarta sendiri memiliki tiga jenis
kereta, pertama kereta jarak jauh, kedua kereta commuter dan ketiga kereta MRT(Mass
Rapid Transit). Untuk kereta jarak jauh yang memakai mesin diesel tentunya dari
segi keretanya masih tetap bisa berjalan, masalahnya ada pada segi pensinyalan.
Pensinyalan bisa diatasi dengan intercom. Selanjutnya untuk kereta commuter
yang melaju di jalur luar ruang dan terkadang sharing lintas dengan
kereta jarak jauh tidak masalah, karena bisa dibantu oleh kereta jarak jauh
(didorong/ tarik) menuju stasiun terdekat. Selain itu, penumpang juga bisa
lebih tenang karena jalur kereta adalah luar ruang. Kereta jenis ketiga yang
sangat berbeda. Seperti kita tahu, kereta MRT memiliki jalur bawah tanah dan elevated(melayang
diatas). Hal ini bisa membuat penumpang panik ketika kereta terhenti karena
tidak ada supply listrik padahal posisinya di jalur bawah tanah atau di jalur
elevated.
Seperti kita tahu, ketika mati lampu, maka kantor dan gedung
akan memakai genset. Mungkin ada yang terpikir kenapa supply station kereta
(pusat listrik kereta listrik) tidak memakai genset juga? Sebenarnya bisa saja,
tetapi akan sangat mahal. Hal ini kerena konsumsi energi kereta itu besar,
misal rangkaian kereta dengan 3 car (gerbong) yang memiliki 8 motor traksi(motor
penggerak kereta), tiap motor traksi 150 kW (kilo watt), maka daya listrik yang
dibutuhkan sebesar 1200 kW atau 1,2 MW(mega watt). Daya seperti ini sangat
besar, itu pun hanya untuk satu rangkaian kereta. Untuk beberapa rangkaian bisa
saja gensetnya sebesar pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD).
Solusi efektif untuk mengatasi hal ini adalah dengan
melengkapi kereta dengan ESS atau energi storage system. Apa itu ESS? ESS adalah
suatu alat untuk penyimpanan energi contohnya baterai. ESS sangat bermanfaat
untuk kereta listrik karena ESS bisa memberikan energi dan juga menyimpan
energi dari kereta listrik. ESS dapat memberikan energi dan membantu kereta ketika
akselerasi(awal gerak kereta) yang membutuhkan energi besar dengan demikian
daya listrik yang ada di kabel LAA (Listrik Aliran Atas) dapat dikurangi. Hal
ini karena LAA umumnya dedesain untuk bisa mensupplay nilai daya maksimum
kereta listrik, tetapi karena sudah ada ESS yang memberikan supply daya
tambahan maka daya di LAA dapat dikurangi. Selanjutnya ESS juga dapat menyimpan
energi dari kereta yaitu ketika kereta listrik melakukan pengereman maka energi
gerak akan diubah menjadi energi listrik dengan mengubah motor traksi kereta
menjadi generator yang dikenal dengan istilah regenerative braking. Umumnya
keteta listrik yang tidak memiliki ESS maka listrik hasil regenerative
braking ini disalurkan kembali ke LAA untuk dimanfaatkan kereta lain atau
dibuang dalam bentuk panas di brake resistor yang ada di kereta.
ESS yang banyak dipakai di kereta adalah baterai, super
capasitor dan flywheel. Baterai memiliki batasan pada arus yang rendah
saat charge (dicas) dan discharge (dipakai). Supercapasitor dapat menerima
energi dalam jumlah besar dan dalam sekejab.Akan tetapi, energinya pun harus
dikeluarkan dalam sekejab pula. Sedangkan flywheel dapat menyimpan
energi yang besar dan sekejab pula tetapi berat kareta kontruksinya mekanis.
Flywheel adalah semacam roda yang dapat menyimpan energi dengan berputar di
ruang hampa. Jika ingin menggunakan energi dari flywheel dilakukan
dengan menghubungkannya untuk memutar generator.
Gambar 2. EES baterai pada kereta
Berdasarkan letaknya ESS bisa
diletakkan di kereta itu sendiri bisa juga diletakkan di samping lintas atau di
stasiun. Peletakan ESS pada kereta inilah yang dapat membantu kereta listrik
untuk berjalan ketika mati lampu. Desain kapasitas ESS yang tepat, jarak antar
stasiun yang sudah tertentu akan sangat membantu sekali. Misalkan MRT terhenti
karena mati lampu di jalur bawah tanah, dengan adanya ESS maka energi pada ESS
tadi dapat dimanfaatkan untuk menggerakkan kereta ke stasiun terdekat meskipun
dengan kecepatan pelan sehingga penumpang dapat turun di stasiun dan keluar
dari ruang bawah tanah sehingga dapat mengurangi kepanikan dan menigkatkan
keselamatan. Selain itu, hal ini juga bisa membantu kerja kereta penolong yang
unitnya terbatas. Sekali lagi, desain ESS menentukan hal ini, karena tidak
semua lintasan datar, lintasan yang menanjak tentunya memerlukan energi yang
lebih besar.
Gambar
3. ESS Flywheel
ESS yang diletakan di kereta
memang sangat bermafaat ketika kondisi emergency sepeti telah
disebutkan. Akan tetapi, hal ini membuat kereta samakin berat. Pilihan lain
adalah meletakkan ESS disamping lintas atau di staiun. ESS yang ada di stasiun
dapat dimanfaatkan energinya untuk penerangan stasiun ketika kondisi emergensi
seperti mati lampu juga. Pada kondisi listrik normal, ESS cukup membantu dalam
penghematan energi. Misalnya saja Los Angles Metro telah meng-instal empat flywheel
modul(FWM) dimana setiap modul terdapat empat flywheel unit (FWU) dengan
total daya 2 MW dan diperoleh penghematan energi hingga 10 - 18 %. Energi yang disimpan
rata - rata 1,6 MWh setiap hari.
Ref: